Kamis, 13 Maret 2014

Problematik Bahasa Indonesia Pada Kehidupan Sehari-hari
Oleh Dinan Yuniar Pramulia[1]
Entah kenapa hal yang terkecil itu kadang terabaikan oleh kita. Contohnya adalah kesalahan penulisan suatu istilah atau kalimat persuasi untuk beribadah.
Suatu hal yang terkecil memang kadang terabaikan ataupun luput dari pengetahuan kita. Misalnya terjadi pada kata ‘Salat’, ‘Azan’, ‘Zuhur’, ‘Asar’ dan ‘Magrib’. Dibelbagai media banyak yang menuliskan kata tersebut dengan menyisisipi huruf lain seperti huruf ‘h’ pada ‘Shalat’ atau mengganti huruf ‘a’ dengan ‘o’ menjadi ‘Solat’, menambah kata ‘d’ pada ‘Azan’ menjadi ‘Adzan’, menambah huruf ‘d’ pada ‘Zuhur’ menjadi ‘Dzuhur’, menambah huruf ‘h’ pada ‘Asar’ menjadi ‘Ashar’ dan sama halnya pada kata ‘Magrib’ menjadi ‘Maghrib’.
Contohnya adalah penulisan kata ‘azan magrib’ di sebuah selingan acara di televisi yang sering kali menampilkan kalimat ‘Saatnya waktu adzan dan sholat maghrib untuk wilayah ... dan sekitarnya’ yang jika mengacu pada KBBI seharusnya adalah ‘Saatnya waktu Azan dan Salat Magrib untuk wilayah ... dan sekitarnya’.
Selain di televisi, di media massa pun kesalahan istilah tersebut banyak terjadi. Semisal dikutip dari Republika Online pada Kamis, 13 Maret 2014 terdapat kutipan “Secara kontekstual, shalat atau ibadah .... “.
Di surau-surau pun sering terjadi kesalahan yang serupa. Misalnya tertera pada dinding-dinding surau, atau pada running text surau. Kesalahan terjadi pada penjadwalan waktu Salat. Masih banyak surau yang menggunakan kata ‘Adzan’, ‘Solat/Sholat’, ‘Dzuhur’, ‘Ashar’, ‘Maghrib’. Selain kata-kata tersebut, pun terjadi pada toilet-toilet surau semisal kata ‘wudu’. Kesalahan kata tersebut sering ditulis dengan menambahkan huruf ‘l’ menjadi ‘wudlu’, sering juga dengan menambahkan huruf ‘h’ menjadi ‘wudhu’.
Berbeda dengan kalimat ‘Bhinneka Tunggal Ika’, kalimat tersebut tidak bisa dieja menjadi ‘Bineka Tunggal Ika’, karena kalimat tersebut bukan berasal dari bahasa Indonesia, tetapi bahasa Sansekerta. Sama halnya dengan ‘Dharma Wanita’. Pun dengan kata ‘Psikologi’ dan ‘Tsunami’ karena itu merupakan suatu istilah.
Masalah-masalah tersebut termasuk dalam kasus problematik bahasa Indonesia, di mana kesalahan tersebut terjadi karena pengaruh dari perbedaan mazhab linguistik, perbedaan mazhab linguistik tersebut diantaranya adalah mazhab preskriptif dan mazhab deskriptif.
Mazhab peskriptif atau bisa juga disebut mazhab formalisme adalah cenderung analogi, mazhab yang selalu mementingkan baku-tidak baku dan benar-salahnya suatu kata. Berarti penggunaan bahasa harus mengikuti kaidah bahasa yang telah disusun oleh pakar bahasa, contohnya adalah KBBI.
Mazhab deskriptif atau bisa juga disebut dengan mazhab fungsionalisme adalah cenderung anomali, mazhab yang tidak mementingkan benar-salah, baku-tidak baku suatu kata. Berarti kaidah bahasa yang disusun berdasarkan deskripsi pengguna bahasa yang diobservasi oleh para pengguna bahasa, hal tersebut terjadi pada kata-kata ‘Adzan’, ‘Solat/Sholat’, ‘Dzuhur’, ‘Ashar, ‘Maghrib’, ‘Wudlu/Wudhu’.
Preskriptif pun bisa dijabarkan menjadi Top Down, yang artinya Top = pembuat aturan (pakar), Down = pengguna bahasa.
Sedangkan deskriptif bisa dijabarkan menjadi Bottom Up, yang artinya Bottom = pengguna bahasa, Up = pakar bahasa.
Terus terang saya harus berluang kali berfikir ulang menuliskan keenam paragraf di atas. Karena saya harus mau mencari buku sumber yang saya punya dan sempat saya pelajari. Terutama tentang mazhab-mazhab linguitik yang ada pada problematik bahasa Indonesia.
Contoh lainnya mungkin sudah sering dibahas di sekolah-sekolah, seperti perbandingan antara ‘Apotek-Apotik’, ‘Praktek-Praktik’. Sudah pasti jawaban yang benar antara kata ‘Apotek-Apotik’ adalah ‘Apotek’, karena adanya istilah ‘Apoteker’, bukan ‘Apotiker’. Pada kata ‘Praktek-Praktik’ adalah ‘Praktik’, karena adanya istilah ‘Praktikum’ bukan ‘Praktekum’.
Problematik pun terjadi pada kata ‘Telanjur-Terlanjur’, ‘Telantar-Terlantar’. Pembenarannya pada kata ‘Telanjur-Terlanjur’  adalah ‘Telanjur’ tanpa ‘r’. Mengapa? Karena tidak ada kata dasar ‘Lanjur’ dan arti dari ‘Telanjur’ adalah: terlewat dari batas atau tujuan yang ditentukan; teranjur: sedianya ia hendak turun di stasiun Gambir, tetapi – sampai ke Sawah Besar. Sama halnya dengan kata ‘Telantar-Terlantar’ yang benar adalah ‘Telantar’, karena tidak ada kata dasar ‘Lantar’, akan berbeda makna dengan kata ‘Lantaran’. Di mana arti ‘Telantar’ adalah: 1 terhantar; terletak tidak terpelihara; 2 serba tidak kecukupan (tentang kehidupan): sejak orang tuanya meninggal, hidupnya --.
Kembali lagi dengan salah benarnya masalah semua itu adalah bagaimana kita menyikapi perbedaan mazhab yang dianut oleh orang-orang. Kita pun tidak bisa menyalahkan hal yang sudah terjadi itu karena hal tersebut sudah telanjur dipublikasikan secara luas.






[1] Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, Bumi Siliwangi. Sedang mengejar gelar S.Pd di akhir namanya