Problematik
Bahasa Indonesia Pada Kehidupan Sehari-hari
Oleh
Dinan Yuniar Pramulia[1]
Entah
kenapa hal yang terkecil itu kadang terabaikan oleh kita. Contohnya adalah
kesalahan penulisan suatu istilah atau kalimat persuasi untuk beribadah.
Suatu
hal yang terkecil memang kadang terabaikan ataupun luput dari pengetahuan kita.
Misalnya terjadi pada kata ‘Salat’, ‘Azan’,
‘Zuhur’, ‘Asar’ dan ‘Magrib’.
Dibelbagai media banyak yang menuliskan kata tersebut dengan menyisisipi huruf
lain seperti huruf ‘h’ pada ‘Shalat’
atau mengganti huruf ‘a’ dengan ‘o’ menjadi ‘Solat’,
menambah kata ‘d’ pada ‘Azan’ menjadi
‘Adzan’, menambah huruf ‘d’ pada ‘Zuhur’ menjadi ‘Dzuhur’, menambah huruf ‘h’ pada ‘Asar’ menjadi ‘Ashar’
dan sama halnya pada kata ‘Magrib’
menjadi ‘Maghrib’.
Contohnya
adalah penulisan kata ‘azan magrib’
di sebuah selingan acara di televisi yang sering kali menampilkan kalimat
‘Saatnya waktu adzan dan sholat maghrib untuk wilayah ... dan
sekitarnya’ yang jika mengacu pada KBBI seharusnya adalah ‘Saatnya waktu Azan dan Salat Magrib untuk wilayah ... dan sekitarnya’.
Selain
di televisi, di media massa pun kesalahan istilah tersebut banyak terjadi. Semisal
dikutip dari Republika Online pada Kamis, 13 Maret 2014 terdapat kutipan
“Secara kontekstual, shalat atau
ibadah .... “.
Di
surau-surau pun sering terjadi kesalahan yang serupa. Misalnya tertera pada
dinding-dinding surau, atau pada running
text surau. Kesalahan terjadi pada penjadwalan waktu Salat. Masih banyak
surau yang menggunakan kata ‘Adzan’, ‘Solat/Sholat’, ‘Dzuhur’, ‘Ashar’,
‘Maghrib’. Selain kata-kata tersebut, pun terjadi pada toilet-toilet surau
semisal kata ‘wudu’. Kesalahan kata tersebut sering ditulis dengan menambahkan
huruf ‘l’ menjadi ‘wudlu’, sering juga dengan menambahkan huruf ‘h’ menjadi
‘wudhu’.
Berbeda
dengan kalimat ‘Bhinneka Tunggal Ika’,
kalimat tersebut tidak bisa dieja menjadi ‘Bineka
Tunggal Ika’, karena kalimat tersebut bukan berasal dari bahasa Indonesia,
tetapi bahasa Sansekerta. Sama halnya dengan ‘Dharma Wanita’. Pun dengan kata ‘Psikologi’ dan ‘Tsunami’ karena
itu merupakan suatu istilah.
Masalah-masalah
tersebut termasuk dalam kasus problematik bahasa Indonesia, di mana kesalahan
tersebut terjadi karena pengaruh dari perbedaan mazhab linguistik, perbedaan
mazhab linguistik tersebut diantaranya adalah mazhab preskriptif dan mazhab
deskriptif.
Mazhab
peskriptif atau bisa juga disebut mazhab formalisme adalah cenderung analogi, mazhab
yang selalu mementingkan baku-tidak baku dan benar-salahnya suatu kata. Berarti
penggunaan bahasa harus mengikuti kaidah bahasa yang telah disusun oleh pakar
bahasa, contohnya adalah KBBI.
Mazhab
deskriptif atau bisa juga disebut dengan mazhab fungsionalisme adalah cenderung
anomali, mazhab yang tidak mementingkan benar-salah, baku-tidak baku suatu
kata. Berarti kaidah bahasa yang disusun berdasarkan deskripsi pengguna bahasa
yang diobservasi oleh para pengguna bahasa, hal tersebut terjadi pada kata-kata
‘Adzan’, ‘Solat/Sholat’, ‘Dzuhur’, ‘Ashar, ‘Maghrib’, ‘Wudlu/Wudhu’.
Preskriptif
pun bisa dijabarkan menjadi Top Down,
yang artinya Top = pembuat aturan
(pakar), Down = pengguna bahasa.
Sedangkan
deskriptif bisa dijabarkan menjadi Bottom
Up, yang artinya Bottom =
pengguna bahasa, Up = pakar bahasa.
Terus
terang saya harus berluang kali berfikir ulang menuliskan keenam paragraf di
atas. Karena saya harus mau mencari buku sumber yang saya punya dan sempat saya
pelajari. Terutama tentang mazhab-mazhab linguitik yang ada pada problematik
bahasa Indonesia.
Contoh
lainnya mungkin sudah sering dibahas di sekolah-sekolah, seperti perbandingan
antara ‘Apotek-Apotik’, ‘Praktek-Praktik’.
Sudah pasti jawaban yang benar antara kata ‘Apotek-Apotik’ adalah ‘Apotek’,
karena adanya istilah ‘Apoteker’, bukan
‘Apotiker’. Pada kata ‘Praktek-Praktik’ adalah ‘Praktik’, karena adanya istilah ‘Praktikum’ bukan ‘Praktekum’.
Problematik
pun terjadi pada kata ‘Telanjur-Terlanjur’,
‘Telantar-Terlantar’. Pembenarannya pada kata ‘Telanjur-Terlanjur’ adalah
‘Telanjur’ tanpa ‘r’. Mengapa? Karena
tidak ada kata dasar ‘Lanjur’ dan
arti dari ‘Telanjur’ adalah: terlewat
dari batas atau tujuan yang ditentukan; teranjur: sedianya ia hendak turun di stasiun Gambir, tetapi – sampai ke Sawah
Besar. Sama halnya dengan kata ‘Telantar-Terlantar’
yang benar adalah ‘Telantar’, karena
tidak ada kata dasar ‘Lantar’, akan berbeda
makna dengan kata ‘Lantaran’. Di mana
arti ‘Telantar’ adalah: 1 terhantar;
terletak tidak terpelihara; 2 serba tidak kecukupan (tentang kehidupan): sejak orang tuanya meninggal, hidupnya --.
Kembali
lagi dengan salah benarnya masalah semua itu adalah bagaimana kita menyikapi
perbedaan mazhab yang dianut oleh orang-orang. Kita pun tidak bisa menyalahkan
hal yang sudah terjadi itu karena hal tersebut sudah telanjur dipublikasikan secara luas.
[1]
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan
Indonesia, Bumi Siliwangi. Sedang mengejar gelar S.Pd di akhir namanya